Kamis, 02 Maret 2017

ASAL USUL & SEBUTAN ORANG BADUY


Salah satu tulisan paling awal mengenai komunitas Baduy adalah tulisan yang berasal dari laporan C.L. Blume ketika ia melakukan ekspedisi botani ke wilayah tersebut tahun 1822. Blume menulis:

“…di pangkuan rangkaian pegunungan yang menjulang di Kerajaan Banten, Jawa bagian barat… kami mendapati beberapa kampung yang dengan sengaja telah bersembunyi dari penglihatan orang luar… Di sebelah barat dan di selatan gunungnya.. yang tidak dijelajahi oleh ekspedisi Hasanudin… dalam sebuah kegelapan hutan yang sangat lebat, mereka nyatanya masih memuja Dewa-nya selama berabad-abad..”

C.L. Blume berpendapat bahwa komunitas Baduy berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran yang bersembunyi (melarikan diri) ketika kerajaan Sunda runtuh pada awal abad ke-17, menyusul berkembangnya Kerajaan Banten.

Van Tricht, seorang dokter yang melakukan sebuah riset kesehatan tahun 1928, menyangkal pendapat komunitas Baduy berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran. Menurutnya, mereka adalah penduduk asli di daerah tersebut. Orang Baduy pun “menolak” jika dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang pelarian Kerajaan Sunda-Pajajaran.

Menurut keyakinan Orang Baduy sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Jaro Dainah (Jaro Pamarentah/Kepala Desa Kanekes), Orang Baduy berasal dari hirarki tua dari Adam Tunggal (keturunan langsung dari manusia pertama yang diciptakan) sedangkan dunia luar (orang-orang di luar Masyarakat Adat Baduy) merupakan keturunan yang lebih muda.

Sebutan ‘Badui’, ‘Baduy’ atau ‘Urang Baduy’ (Orang Baduy) bagi seluruh penduduk Desa Kanekes merupakan sebutan yang telah digunakan sejak lama. Hal ini dapat ditelusuri dari laporan-laporan peneliti (etnografi) Belanda seperti yang tulis oleh van Hoevell (1845); Jacob dan Miejer (1981); Pennings (1902); Pleyte (1909); van Tricht (1929) dan Geise (1952) yang menyebut masyarakat yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu dengan sebutan badoe’i, badoei, badoewi, Knekes, dan Rawayan (Garna, 1996). Diduga, sebutan-sebutan tersebut bukanlah sebutan yang berasal dari penduduk itu sendiri.

Sebutan ‘Baduy’ diperkirakan telah digunakan oleh beberapa peneliti yang menyamakan masyarakat tersebut dengan kelompok masyarakat pengembara di Arab, Orang Badawi sedangkan sebutan Kanekes atau Urang Kanekes, seperti yang diungkapkan oleh Nurhadi (1988), diduga merupakan sebutan yang berasal dari nama sungai yaitu Ci Kanekes yang mengalir ke daerah tersebut.

Masyarakat Desa Kanekes menamai dirinya sesuai dengan asal dan wilayah kampungnya, seperti Urang Cibeo untuk mereka yang tinggal di wilayah Kampung Cibeo, urang Kaduketug, Urang Gajebo. Urang Tangtu (Baduy Dalam), dan Urang Panamping (Baduy Luar) juga kerap digunakan sebagai penanda akan identias mereka dalam cakupan wilayah berdasarkan Adat.

Sebutan Baduy kini melekat pada penduduk Kanekes, ketika Kartu Tanda penduduk (KTP) diperkenalkan untuk pertama kali pada tahun 1980 pada Masyarakat Adat Baduy, identitas sebagai Urang Baduy (Orang Baduy) dibubuhkan pada KTP mereka.

‘Orang Baduy’ atau Baduy kini digunakan untuk menyebut individu atau masyarakatnya dan ‘Kanekes’ merujuk kepada nama wilayah atau desa mereka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Jaro Dainah, bahwa:

“Kanekes ngaran Desa, Baduy ngaran masyarakatna. Lian ti eta berarti sebutan nu diciptakeun ku urang luar Baduy”. (Kanekes nama Desa, Baduy nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti sebutan yang diciptakan oleh orang luar Baduy).

Sumber Artikel: Wacana.co
Sumber Foto: 1001Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar