Salah satu tulisan paling awal mengenai komunitas Baduy adalah
tulisan yang berasal dari laporan C.L. Blume ketika ia melakukan
ekspedisi botani ke wilayah tersebut tahun 1822. Blume menulis:
“…di pangkuan rangkaian pegunungan yang menjulang di Kerajaan Banten,
Jawa bagian barat… kami mendapati beberapa kampung yang dengan sengaja
telah bersembunyi dari penglihatan orang luar… Di sebelah barat dan di
selatan gunungnya.. yang tidak dijelajahi oleh ekspedisi Hasanudin…
dalam sebuah kegelapan hutan yang sangat lebat, mereka nyatanya masih
memuja Dewa-nya selama berabad-abad..”
C.L. Blume berpendapat
bahwa komunitas Baduy berasal dari Kerajaan Sunda-Pajajaran yang
bersembunyi (melarikan diri) ketika kerajaan Sunda runtuh pada awal abad
ke-17, menyusul berkembangnya Kerajaan Banten.
Van Tricht,
seorang dokter yang melakukan sebuah riset kesehatan tahun 1928,
menyangkal pendapat komunitas Baduy berasal dari Kerajaan
Sunda-Pajajaran. Menurutnya, mereka adalah penduduk asli di daerah
tersebut. Orang Baduy pun “menolak” jika dikatakan bahwa mereka adalah
orang-orang pelarian Kerajaan Sunda-Pajajaran.
Menurut keyakinan
Orang Baduy sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Jaro Dainah (Jaro
Pamarentah/Kepala Desa Kanekes), Orang Baduy berasal dari hirarki tua
dari Adam Tunggal (keturunan langsung dari manusia pertama yang
diciptakan) sedangkan dunia luar (orang-orang di luar Masyarakat Adat
Baduy) merupakan keturunan yang lebih muda.
Sebutan ‘Badui’,
‘Baduy’ atau ‘Urang Baduy’ (Orang Baduy) bagi seluruh penduduk Desa
Kanekes merupakan sebutan yang telah digunakan sejak lama. Hal ini dapat
ditelusuri dari laporan-laporan peneliti (etnografi) Belanda seperti
yang tulis oleh van Hoevell (1845); Jacob dan Miejer (1981); Pennings
(1902); Pleyte (1909); van Tricht (1929) dan Geise (1952) yang menyebut
masyarakat yang tinggal di lereng Pegunungan Kendeng itu dengan sebutan
badoe’i, badoei, badoewi, Knekes, dan Rawayan (Garna, 1996). Diduga,
sebutan-sebutan tersebut bukanlah sebutan yang berasal dari penduduk itu
sendiri.
Sebutan ‘Baduy’ diperkirakan telah digunakan oleh
beberapa peneliti yang menyamakan masyarakat tersebut dengan kelompok
masyarakat pengembara di Arab, Orang Badawi sedangkan sebutan Kanekes
atau Urang Kanekes, seperti yang diungkapkan oleh Nurhadi (1988), diduga
merupakan sebutan yang berasal dari nama sungai yaitu Ci Kanekes yang
mengalir ke daerah tersebut.
Masyarakat Desa Kanekes menamai
dirinya sesuai dengan asal dan wilayah kampungnya, seperti Urang Cibeo
untuk mereka yang tinggal di wilayah Kampung Cibeo, urang Kaduketug,
Urang Gajebo. Urang Tangtu (Baduy Dalam), dan Urang Panamping (Baduy
Luar) juga kerap digunakan sebagai penanda akan identias mereka dalam
cakupan wilayah berdasarkan Adat.
Sebutan Baduy kini melekat pada
penduduk Kanekes, ketika Kartu Tanda penduduk (KTP) diperkenalkan untuk
pertama kali pada tahun 1980 pada Masyarakat Adat Baduy, identitas
sebagai Urang Baduy (Orang Baduy) dibubuhkan pada KTP mereka.
‘Orang Baduy’ atau Baduy kini digunakan untuk menyebut individu atau masyarakatnya dan ‘Kanekes’ merujuk kepada nama wilayah atau desa mereka. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Jaro Dainah, bahwa:
“Kanekes ngaran Desa, Baduy ngaran masyarakatna. Lian ti eta berarti
sebutan nu diciptakeun ku urang luar Baduy”. (Kanekes nama Desa, Baduy
nama masyarakatnya. Selain dari itu berarti sebutan yang diciptakan oleh
orang luar Baduy).
Sumber Artikel: Wacana.co
Sumber Foto: 1001Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar